Latest Article Welcome in Democratic Student Fight Movement Of Parepare Site
 photo hhhhhhhhiii_zps9dd37855.jpeg" />  photo hhdrhhdhdrhdh_zps2794a59b.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />

Celoteh Malam

Celoteh Malam


karya : Enho merah

kerinduan kini datang lagi
disudut malam saat ku berdiri
menatap indah kota ini
terpenjara diri dalam sepi

ku buka lembaran yang mungkin telah usai
dalam memori usang saat kita saling mengerti
mengharap waktu menuntaskan sepi
aku ingin tetap disini

separuh jiwaku kau bawah pergi
kuharap kau datang menghampiri
bersama harapan dan juga mimpi
dan mengakhiri semua ini

kau simpulkan harapan pada garis waktu yang kau yakini
dan berpesan pada malam 
tentang arti kehidupan kesabaran dalam diri

ku harap bulan datang menemani sepi
menjadi teman bicara malam ini
ceritakan rindu yang berlebirin
yang tak mampu ku hindari.
parepare, 21/03/2018.

EKSKLUSIFISME GERAKAN MAHASISWA DAN TERKIKISNYA KEPEKAAN SOSIAL

Sebelum meletusnya Gerakan Mahasiswa Pada Tahun 1998, salah satu peristiwa yang dikenal sebagai Malapetaka Limabelas Januari (MALARI) pada tahun 1973-74. Memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap gerakan mahasiswa dan rakyat saat itu, karena keadaan sebelum peristiwa tersebut mengantarkan mahasiswa maupun rakyat geram terhadap penguasa yang tak dapat meyalurkan amarahnya dalam gerakan politik yang terorganisir, sehingga yang terjadi adalah kerusuhan. Akibat Keadaan tersebut Rezim Soeharto mengambil tindakan untuk mengeluarkan Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) dalam kehidupan Sosial dan Politik yang di peruntuhkan pada Generasi Mahasiswa pada masa itu. Alasan yang dilontarkan oleh rezim soeharto mengeluarkan kebijakan NKK/BKK yang disahkan pada tahun 1978, karena kampus selama periode tersebut menjadi pusat mobilisasi mahasiswa dan pusat kritik terhadap penguasa. Maka kebijakan NKK/BKK terus berpijak pada aturan pemerintah sampai meletusnya Tragedi 1998 bahkan sampai saat ini yang telah menguras tenaga para mahasiswa dan rakyat untuk melawan rezim Soeharto hingga lengsernya rezim Soeharto setelah 32 tahun kepemimpinannya. 

Namun gerakan yang dipandang telah berhasil menggulingkan rezim yang menindas rakyat ini, tidak membuahkan hasil yang signifikan terhadap gerakan mahasiswa maupun rakyat, dikarenakan lengsernya Soeharto dari Jabatan Kursi Presiden hanya digantikan oleh wakilnya BJ. Habibie yang juga pada dasarnya membawa kepentingan terselubung dengan orang-orang yang berada pada Rezim Orba. Dilain sisi  Gerakan Mahasiswa tahun 1998 juga tidak mampu menghasilkan tokoh politik nasional yang memberikan solusi tentang kesejahteraan rakyat sepenuhnya. Solusi Sistem Reformasi yang diteriakkan mahasiswa pada saat itu juga tidak mampu merubah tatanan sosial masyarakat ke ambang pintu kesejahteraan, karena Sistem Reformasi dan penggerak dari Sistem ini juga masih diisi oleh Orang-orang dari Estate Orba. Pada tahun 1999 ada Amin Rais, Megawati, Gusdur, sedangkan sampai sekarang hanya diisi oleh SBY, Jusuf Kalla, dan Prabowo. Jokowi memang tidak termasuk Estate Orba, namun ia tak terlahir dari proses gerakan dan tak memiliki gagasan besar tentang ke-Indonesiaan. Jelas bahwa semenjak diberlakukannya kebijakan NKK/BKK pada tahun 1978 telah memberikan dampak pada Gerakan Mahasiswa sampai saat ini, karena kebijakan NKK/BKK telah menjauhkan pemikiran maupun tindakan mahasiswa dalam menyikapi kondisi sosial-Politik yang sedang terjadi sampai saat ini.  

Adapun beberapa dampak yang dihasilkan kebijakan NKK/BKK sampai saat ini masih terlihat di lembaga pendidikan khususnya Kampus, masih banyak praktek-praktek yang menjauhkan pemikiran mahasiswa untuk menyikapi kondisi sosial maupun pergulatan politik saat ini, dikarenakan mahasiswa terkungkung dalam Regulasi Kampus masing-masing, dan di tambah lagi dengan pergulatan antara Lembaga-Lembaga Kampus seperti BEM, HMJ, dan UKM. yang dimana mahasiswa yang berada pada lingkaran lembaga kampus tersebut hanya bisa memamerkan arogansi lembaga masing-masing contohnya bersaing membuat kegiatan seminar, bazar, Pengkaderan dan lain-lain untuk memperlihatkan eksistensi dalam lembaganya yang tidak menghasilkan solusi terhadap masalah atau dilema yang dialami mahasiswa  dan rakyat saat ini. 

Pertanyaan mendasar soal eksklusifnya gerakan mahasiswa terhadap kondisi sosial saat ini adalah apakah dengan mahasiswa meleburkan dirinya kedalam gerakan rakyat, buruh, tani, kaum miskin kota, dan kaum tertindas lainnya mampu memberikan solusi atas masalah sosial hari ini ? atau sebaliknya gerakan mahasiswa harus kembali ke kampus untuk mengorganisir sesamanya untuk membangun kesadaran berlawannya dan menyatukan gerakannya.

kita dapat menarik kesimpulan bahwa dua pertanyaan diatas dapat kita jawab dengan melihat keadaan gerakan mahasiswa saat ini. Dengan meleburnya gerakan mahasiswa dan rakyat untuk menyatukan gerakannya melawan sistem sosial-politik yang tidak berpihak pada mahasiswa dan rakyat saat ini musti melalui kesadaran mahasiswa dan rakyat itu sendiri. Dengan kesadaran berlawan mahasiswa sebagai kaum intelektual yang mempunyai waktu luang untuk memikirkan problem-problem yang terjadi dalam tatanan sosial-politik saat ini dan dilain sisi juga untuk mereposisi peran mahasiswa sebagai pelopor bagi rakyat  yang seharusnya dengan praktek-praktek gerakan mahasiswa itu sendiri. karena notabenenya kaum intelektual yang mempunyai waktu luang untuk meleburkan dirinya di kampus untuk mengorganisir sesamanya dan juga membangun kesadaran berlawannya kemudian harus mampu menyikapi maupun mengawal perlawanan-perlawanan rakyat saat ini hingga penyatuan gerakannya bersama rakyat. Dan pada akhirnya rakyat tidak lagi berlawan dengan faktor ajakan tetapi, dengan kesadaran berlawan atas kondisi yang mereka alami. Maka dengan lahirnya kesadaran ini gerakan mahasiswa tidak ragu lagi atas keadaan yang mereka alami dan melakukan penyadaran dan pengorganisiran massa. Disamping itu tidak seharusnya mahasiswa saat ini melilitkan dirinya dalam lingkaran yang terpisah tetapi, harus menyatukan prespektif dan gerakan yang nyata dalam menyikapi kondisi sosial-politik saat ini.
 
(Ditulis Oleh Fikri Merah, Anggota Gerakan Perjuangan Mahasiswa Demokratik-Sentra gerakan mahasiswa Kerakyatan GPMD-SGMK Parepare)
Belajar Selagi muda, Berjuang Selagi Bisa!!!

Sinopsis Buku : Feminisme dan Sosialisme

Sumber : Google Image
Feminisme dan Sosialisme: Dokumen Partai Sosialis Demokratik (DSP Australia)

Media massa semakin mengobarkan akhir dari feminisme sebagai upaya untuk memukul

mundur hak perempuan yang telah dicapai dalam 25 tahun terakhir. Serangan terhadap hak

perempuan untuk mengontrol fertilitas dan tubuhnya, upah yang tidak setara, kekerasan

dalam rumah tangga dan kekerasan seksual, kurangnya akses terhadap pekerjaan layak dan

praktek diskriminasi yang terus-menerus, semuanya ini merupakan bagian dari serangan

balasan terhadap gerakan perempuan.

Feminisme sendiri juga terfragmentasi tentang bagaimana bergerak maju – apakah melawan

dan membela diri dari serangan ini atau, yang paling buruk, membiarkan capaian minoritas

perempuan yang memiliki hak istimewa tetap dipertahankan dengan mengorbankan massa

besar perempuan lainnya.

Sebagian feminis berjalan bersama dengan kaum sayap-kanan moralis yang mengadvokasi

peranan perempuan tradisional sebagai istri dan ibu rumah tangga dengan menuntut lebih

banyak sensor terhadap pornografi dan penindasan terhadap teknologi reproduktif “yang

dikontrol laki-laki.”

Yang lain memilih, bukan untuk gerakan perempuan demokratik yang bertujuan untuk

merubah masyarakat secara kolektif, namun memilih feminisme yang berdasarkan hak

individual, pencapaian individual dan solusi individual. Membuat lebih banyak perempuan

masuk kedalam posisi “pembuat keputusan” di pemerintahan dan jajaran birokrasi, menurut

mereka adalah cara satu-satunya untuk mencapai kesetaraan gender.

Penolakan terhadap perjuangan kolektif, organisasi dan berkampanye ini dibawa satu langkah

lebih jauh lagi oleh apa yang disebut sebagai feminisme “gelombang ketiga”, feminisme “do-

it yourself-lakukan sendiri”, yang sangat dipengaruhi oleh postmodernisme dan

menggantikan semua pengalaman umum, perasaan solidaritas dan aksi bersama di antara

perempuan dengan relativisme dan individualisme absolut.

Buku ini menyuarakan strategi yang sangat berbeda. Buku ini menilai keadaan hak

perempuan dan feminisme di seluruh dunia hari ini – di negeri-negeri Barat yang

terindustrialisasi, Dunia Ketiga dan bekas blok Uni Soviet, serta Kuba dan Amerika Latin –

dengan menjelaskan penindasan perempuan dari perspektif Marxisme.

Sebagai sebuah resolusi Democratic Socialist Party-Partai Sosialis Demokratik (DSP), buku

ini mengambil pengalaman kaya aktivisme DSP di dalam gerakan perempuan sejak

pendiriannya di Australia pada awal tahun 1970an. Buku ini menggambarkan sebuah strategi

untuk melindungi capaian-capaian yang telah diperjuangkan dan meluaskan perjuangan untuk

membangun sebuah gerakan perempuan yang inklusif – yang bisa memenangkan

pembebasan untuk semua kaum perempuan.

2. Mana Tradisi Marxis Sejati: John Molyneux

Ini bukan sekadar bahwa orang yang mengaku Marxis memiliki pendapat berbeda mengenai

masalah-masalah tertentu (misalnya tentang kecenderungan turunnya laju profit, atau karakter

kelas Uni Soviet): yang wajar dalam setiap gerakan demokratik yang hidup. Persoalannya

yaitu bahwa kaum “Marxis” sering saling memenjarakan, memerangi serta membunuh, dan

yang lebih mendasar adalah, bahwa dalam semua konflik sosial penting di masa ini, ada

banyak dari mereka yang mengklaim diri sebagai “Marxis” mengambil sikap yang

bertentangan dengan barikade revolusioner. Misalnya antara Lenin dan Plekhanov [seorang

tokoh sosial-demokrat] di Rusia tahun 1917, Kautsky dan Luxemburg di tahun 1919, Partai

Komunis dan Partai Revolusioner POUM di Spanyol di masa pemberontakan di Barcelona

tahun 1936; dan di Eropa Timur (Hongaria tahun 1956 dan Polandia di tahun 1981) masa

ambruknya blok Soviet. Kontradiksi inilah yang mendorong kita untuk melontarkan

pertanyaan tentang apa yang sebenarnya disebut sebagai Marxisme.

Feminisme dan Sosialisme, harga Rp 25.000,- diskon 40% menjadi Rp 15.000,-

Mana Tradisi Marxis Sejati? harga Rp 20.000,- diskon 40% menjadi Rp 12.000,-

Berlaku hingga Kamis 26 Desember 2015.

Untuk pemesanan hubungi Bintang Nusantara.

Perjumpaan Gus Dur dengan Marxisme-Leninisme


PERJUMPAAN Gus Dur dengan Marxisme, bisa kita baca dalam biografi yang ditulis oleh Greg Barton. Sebagaimana pengakuannya sendiri ketika remaja di Yogyakarta menjadi santri Kiai Ali Maksum Krapyak, ia telah membaca Das Capital karya Marx dan What Is To Be Done? karya Lenin. Gus Dur juga tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book nya Mao (kutipan kata-kata Ketua Mao). Digambarkan bahwa di satu sisi ia menemukan banyak ide menarik dalam pikiran-pikiran kaum Marxis, tetapi ia juga terganggu oleh antagonisme Marxisme dengan agama. Meski demikian, Gus Dur masih tetap berharap bahwa dalam Islam ia dapat memperoleh jawaban bagi masalah-masalah ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan yang menjadi tema utama dan mengemuka dalam Marxisme-Leninisme.
Dari situ kita tahu bahwa Gus Dur bersentuhan dengan Marxisme-Leninisme sejak masa remaja. Meski demikian, tidak mudah bagi siapapun untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan pengaruh Maxisme atas pemikirannya, karena Gus Dur tak pernah menerbitkan atau menuliskan hasil bacaannya. Dari semua esainya, setahu penulis, hanya ada satu esai Gus Dur yang secara spesifik memberi komentar atas Marxisme yaitu Pandangan Islam Terhadap Marxisme dan Leninisme yang dimuat pertamakali dalam Persepsi No. 1 1982. Bertolak dari esai tersebut, kita akan tahu bagaimana kesan dan ekspektasi Gus Dur atas Marxisme-Leninisme.

Bagi pembaca Gus Dur yang baik, tak akan heran dengan sikap terbuka Gus Dur terhadap Marxisme karena Gus Dur sejak semula membuktikan dirinya tidak pernah canggung dengan berbagai khasanah pengetahuan yang berada di luar garis kulturalnya. Sikap terbuka ini, kemungkinan besar diterimanya dari lingkungan kosmopolit yang ditanamkan oleh ayahnya, Wahid Hasyim, dimana sebagai politisi muda pada masanya kiai Wahid biasa bergaul dengan banyak tokoh-tokoh pergerakan dari berbagai latar ideologi. Bahkan bersahabat dengan seorang pejuang Revolusioner Tan Malaka yang berhaluan Komunis.

Di sini muncul pertanyaan. Gus Dur yang pada masa remajanya telah membaca Marxisme-Leninisme, –setidaknya telah memahami dasar-dasar pemikiran Marx— kenapa Gus Dur tidak tertarik untuk mengkaji Marxisme secara lebih serius dan teoritis? Pertanyaan tersebut juga bisa berlaku secara umum. Kenapa intelektual Islam Indonesia di era orde baru enggan untuk mengkaji Marxisme di era itu? Pertanyaan ini relevan untuk diajukan dimuka, sebelum kita masuk ke esai Gus Dur. Karena secara umum, dalam esai tersebut Gus Dur sadar betul akan pentingnya Marxisme-Leninisme bagi pemikiran Islam.

Setidaknya, ada beberapa hal yang menghambat kajian Marx di era orde baru. Pertama, Secara historis kaum muslim Indonesia mempunyai pengalaman sejarah kelam yang memposisikan Islam dan Marxisme secara berhadap-hadapan di tahun 1948 dan 1965. Kedua, para intelektual Islam Indonesia yang mekar di era tahun 1980an – 1990an, hidup dalam suasana pembangunanisme yang tengah dicanangkan oleh rezim orde baru. Sehingga mudah ditemukan di era itu, intelektual Islam Indonesia disibukkan oleh upaya mencari kesesuaian Islam dan Developmentalism. Nalar instrumental yang dibawa serta oleh developmentalism tak pelak menyeret intelektual Islam Indonesia masuk pada narasi: ‘apakah kontribusi Islam terhadap pembangunan Indonesia menuju negara maju sebagaimana proyek orde baru’. Karena bagi para intelektual Islam di masa itu, adalah menjadi kebutuhan penting dan mendesak untuk segera memberi sumbangsih argumentasi teologis dan historis bahwa Islam kompatibel dengan pembangunan. Ketiga, politik anti-komunisme orde baru yang melarang Marxisme-Leninisme diajarkan. Konjungtur politik semacam itulah yang menjadi penyebab utama minusnya kajian Marx dan Marxisme oleh intelektual Islam Indonesia.

Dengan demikian, Marxisme di era orde baru berada di tepian kajian humaniora di Indonesia. Ini berbeda dengan di era Zaman Bergerak atau masa awal perjuangan Indonesia, dimana Marxisme bisa dikatakan satu-satunya ilmu sosial yang menjadi primadona dan memberi pengaruh besar bagi kaum pergerakan pada masanya. Bahkan ketika Tan Ling Djie, seorang Marxis tulen dari Partai Komunis Indonesia (PKI) menyebut Muhammad Hatta sebagai Marxis gadungan, Marxis “borjuis” yang pemahamannya tentang Marxologie sangat terbatas dan dangkal, Hatta menyangkalnya. Ia mengaku seorang marxis yang memakai materialisme sebagai teori bukan dogma. Ia menyebut dirinya sebagai seorang Marxis dan juga bukan Marxis sekaligus, sebagaimana Marx sendiri mengatakan tentang dirinya, “Ich bin kein Marxist”, “saya bukan seorang Marxis”. Pernyataan Hatta itu akan sulit ditemukan di kalangan intelektual Islam saat ini.

Perlunya Mencari Kesesuaian Islam dan Marxisme
Secara umum, esai Gus Dur yang berjudul Pandangan Islam Terhadap Marxisme dan Leninisme berisi pesan perlunya sebuah upaya teoritis mencari kesesuaian Islam dan Marxisme. Berbeda dengan kebanyakan tokoh Islam pada masanya, yang sebagian besar anti terhadap komunisme yang merupakan imbas dari propaganda Soeharto, Gus Dur justru melihat perlunya proses akulturasi pengetahuan antara Islam dan Marxisme. Ia tak khawatir akan terjadi erosi ajaran Islam atas akulturasi gagasan tersebut. Sebaliknya, ia melihat adanya peluang terjadinya penguatan ajaran-ajaran Islam melalui “penyerapan sebagai alat analisis” yang dipinjam dari Marxisme-Leninisme tersebut. Di sinilah Gus Dur menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme, yang akan membawa pada pemahaman yang lebih terinci dan pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam sebagai ajaran kemasyarakatan, dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik. Pemahaman dan pengertian seperti itu akan memungkinkan antisipasi terhadap peluang bagi terjadinya “titik sambung” keduanya di negeri ini pasca 65.

Lebih jauh, Gus Dur mengkritik sikap kaum muslimin Indonesia yang menolak kehadiran Marxisme-Leninisme melalui ketetapan MPR sebagai sebuah anomali, karena penolakan tersebut lebih bersifat politis, bukan ideologis. Lebih-lebih, menurut Gus Dur, kaum muslimin Indonesia sudah tidak lagi memiliki aspirasi mereka sendiri di bidang ideologi, tetapi meleburkannya ke dalam ideologi “umum” bangsa, yaitu Pancasila. Gus Dur menyayangkan kenyataan selama ini bahwa tinjauan atas hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme sering kali bersifat dangkal, sangat formal dan melihat dari satu sisi saja. Anehnya, selama ini Marxisme-Leninisme, meski tidak diakui secara formal di kalangan gerakan-gerakan Islam, namun diam-diam diterima dalam praktik.

Bagi Gus Dur menjadi penting dalam konteks Indonesia kedepan adanya upaya meramu unsur Marxisme-Leninisme dan Islam, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sejumlah pemikir muslim semacam Abdel Malek Bennabi dan Ali Syariati. Bahkan Gus Dur mengungkapkan adanya sebuah gerakan Islam Mojaheddin el-Khalq yang bergerak dari Paris, menggunakan analisis perjuangan kelas yang mengikuti acuan Marxisme-Leninisme. Yang lebih mencengangkan, Gus Dur menganjurkan adanya kajian atas ayat-ayat Al-Qur’an, ucapan Nabi dalam hadits dan penjelasan ulama dalam karya-karya mereka diperiksa kembali “wawasan kelas”-nya, agar dimungkinkan adanya penafsiran kembali atas “pemahaman salah” akan sumber-sumber ajaran agama yang selama ini ditafsir. Gus Dur sadar akan pentingnya pendekatan struktural dalam menafsirkan kembali ajaran agama itu bagaimanapun akan membawa kepada kesadaran akan pentingnya analisis perjuangan kelas untuk menegakkan struktur masyarakat yang benar-benar adil dalam pandangan Islam.

Ada yang lebih mengharukan dari esai tersebut,– ingat esai tersebut ditulis di tahun 1982 dimasa kuat-kuatnya orde baru—yaitu apresiasi Gus Dur terhadap semakin berkembangnya pemahaman “humanis” atas Marxisme-Leninisme, sebagimana dilakukan Partai Komunis Italia yang membawa apresiasi lebih dalam lagi tentang pentingnya wawasan keagamaan ditampung dalam perjuangan kaum Maxis-Leninis untuk menumbangkan struktur kapitalis secara global. Satu kritik Gus Dur terhadap Marxisme, yaitu penempatan agama sebagai superstruktur atau struktur atas bukan basis struktur atau struktur bawah yang merupakan basis teoritis Marxisme. Inilah yang luput dari Gur Dur, ia tak melihat dimensi revolusiner dari filsafat Marx yaitu penemuannya atas tendesi ekonomis atas segala hal di dunia ini secara ilmiah. Sebagaimana diungkapkan Engels dalam Speech at the Graveside of Marx bahwa: “Marx menemukan… fakta yang sederhana… bahwa umat manusia pertama-tama harus makan, minum, memiliki tempat berteduh, dan berpakaian, sebelum ia dapat mengejar politik, sains, seni dan agama.”

Relevansi Islam dan Marxisme Menuju Another World is Possible
Dalam esainya, Gus Dur sangat terkesan dengan sisi humanis dari Partai Komunis Italia yang salah satunya dimotori oleh Antonio Gramsci. Kita tahu di Eropa, teori Gramsci menjadi sangat terkenal pasca Perang Dunia II. Berbeda dengan Lenin yang percaya sosialisme via revolusi dengan membangun Partai Pelopor, mengikuti Engels, Gramsci lebih percaya jalan sosialisme melalui demokrasi.

Tambahan untuk ekspektasi Gus Dur. Percobaan intelektual dan politik Marxisme yang berkembang jauh dari apa yang selama ini diduga banyak pihak. Pasca kendaraan runtuhnya Tembok Berlin dimana semua pihak memperkirakan Marxisme sudah terbukti gagal dan segera ditinggalkan, Fredric Jameson, seorang kritikus sastra dan teoritisi politik Marxis, malah mengatakan bahwa Marxisme makin diperkuat dan diremajakan oleh keterbebasannya dari tradisi Soviet yang monolitik. Dengan adanya Revolusi Cina dan Kuba, Kiri Baru Amerika, peristiwa Mei 1968 di Prancis, Marxisme telah lepas dari kebekuan Stalinisme dan menjadi suatu aliran pemikiran dan aksi baru yang kreatif dan pluralistik.

Sementara, jika kita melihat konfigurasi politik abad dua satu, banyak pemimpin sosialis-kiri radikal yang pernah memimpin, khususnya di Amerika Latin, di antaranya: Michelle Bachelet, mantan tahanan politik perempuan, yang menjadi presiden Chili; Evo Morales, tokoh gerakan petani suku Indian, presiden Bolivia; Hugo Chavez, Presiden Venezuela; Lula Da Silva, presiden Brazil; Netro Kirchner, presiden Argentina; dan Daniel Ortega, presiden Nikaragua. Para pemimpin tersebut bersekutu dengan presiden Kuba Fidel Castro, yang telah lama menjadi musuh utama AS di benua Amerika.

Jadi di abad ini, percobaan sosialisme via demokrasi, yang dimulai oleh Salvador Allende, seorang presiden Marxis pertama yang terpilih secara demokratis pada tahun 1970 di Chile dan deretan nama pemimpin kiri di Amerika Latin dan suksesnya Podemos di Spanyol, memberi sinyal pada kita bahwa Marxisme masih mungkin. Sayangnya, Via Chilena (jalan Chili) menuju sosialisme yang dicanangkan Allende melalui pidato pelantikannya yang sangat terkenal: “…Sekarang rakyat telah berhasil merebut kekuasaan atas nasib mereka sendiri, untuk berderap maju menuju sosialisme melalui jalan demokratis” pada tahun 1973, digulingkan secara brutal oleh militer Chilieatas perintah Amerika, dalam sebuah operasi militer yang diberi nama “Operasi Jakarta”. Kudeta tersebut telah merenggut nyawa Allende berikut kira-kira 30.000 orang dari negeri yang berpenduduk sepuluh juta jiwa itu.

Penulis percaya dengan apa yang diungkapkan oleh Samir Amin, direktur Third World Forum yang mencetuskan teori Centre-Periphery (Pusat dan Pinggiran), yang menggambarkan ketimpangan hubungan antara negara maju di Utara dan negara-negara miskin di Selatan bahwa ketimpangan ini akan terus dilanggengkan. Bagi Samir Amin, ada pertukaran yang tidak adil (unequal exchange). Konsep ini menunjukkan bagaimana terjadinya peralihan surplus dari negara-negara miskin atau Dunia Ketiga yang disebutnya “periphery” (negara-negara pinggiran) ke negara-negara maju yang disbutnya ”centre” (negara-negara pusat). Dari kolonialisme berupa penjajahan politik hingga neo-kolonialisme berupa penjajahan ekonomi sebagaimana saat ini, percayalah negara-negara Dunia Ketiga atau negara periphery, selamanya hanya diposisikan sebagai tempat penanaman modal asing, sumber bahan mentah, sumber buruh murah, dan tempat pemasaran hasil produksi negara maju.

Penutup
Kita patut bersyukur mempunyai agawaman sekaligus pemimpin semacam Gus Dur yang tak pernah dogmatis dan selalu terbuka dengan segala kemungkinan bagi jalannya perubahan. Penulis baru sadar bahwa kengototan presiden Gus Dur untuk mecabut TAP MPRS No. 25 tahun 1966, ternyata berakar pada esainya di tahun 1982 tersebut, dimana ia mengkritik sikap anomali kaum muslim Indonesia yang menolak Marxisme-Leninisme. Gus Dur tidak bergeser setitikpun dengan konsistensi sikap politiknya.

Terakhir, agar prasangka atas komunisme di negeri bisa kita sudahi. Jangan lupa, setitikpun jangan!. Nelson Mandela atau yang akrab dipanggil Madiba juga seorang Marxis. Sahed Baghat Singh, seorang pejuang kemerdekaan India seorang Marxis. Dan anehnya, semoga tidak sedang bercanda, seorang Dalai Lama mentahbiskan dirinya sebagai Marxis. Bahkan Pancasila dengan jujur dikatakan oleh Soekarno sebagai Kiri. Berikut kutipan lengkapnya:

“Oleh karena itu saya berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa? Terutama sekali karena di dalam Pancasila ada unsur Keadilan Sosial. Pancasila adalah anti-Kapitalisme. Pancasila adalah Anti “explotation de’l home par l’homme”. Pacasila adalah Anti “exploitation de nation par nation”. Karena itulah Pancasila kiri”
Kenapa kita yang begitu bersemangat dengan kemanusiaan, demokrasi dan toleransi tak siap menerima kenyataan ini. Siapakah sesungguhnya yang tak manusiawi, demokratis dan toleran? Sepertinya hanya Allah yang tahu.***

Sumber : Google Image
Penulis adalah guru ngaji, aktivis Federasi Buruh Lintas Pabrik dan aktif di Litbang Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam. Penulis bisa diubungi melalui roy.murtadho@gmail.com.
Poin-poin utama esai ini merupakan bahan awal dari materi tambahan atau suplemen untuk “Pondok Mahasiswa” di Purwokerto.

[1] Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 53.
[2] Ibid., 54.
[3] Abdurrahman Wahid, “Pandangan Islam Terhadap Marxisme dan Leninisme”, dalam Aula, September (1988). Sebelumnya pernah dimuat dalam Persepsi, No. 1, (1982), dan kini dibukukan dalam Kacung Marijan dan Al-Brebesy (ed.), Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: Grasindo, 1999), dan menjadi prolog dalam buku karya Syamsul Bakri, Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1942 (Yogyakarta: LkiS, 2015). Dan dimuat dalam website NU online.
[4] Lih. Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, (Jakarta: Gramedia, 2003). Catatan kaki No. 203, hlm. 690-691.
[5] Lih. Frededich Engels, “Speech at the Graveside of Marx,” dalam Karl Marx and Engels: Selected Works, diterjemahkan dan disunting oleh Marx-Engels-Lenin Institute, vol 2. (Moscow 1951), 2:153.
[6] Frederic Jameson dalam Pendahuluan atas karya Henri Arvon, Estetika Marxis, (Yogyakarta: Resist Book, 2010).
[7] Untuk menilik pemikiran Samir Amin lebih lanjut lih. Samir Amin, Imperialism and Unequal Development, (New York: Monthly Review Press, 1978). Unequal Development, (New York: Monthly Review Press. 1976). Capitalism in the Age on Globalization, 1997.
[8] Lih. Bonnie Triyana dan Budi Setiyono: Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965 – Pelengkap Nawaksara (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005), hlm. 63

LENIN : Sosialisme dan Agama


Sumber : Google Image
Masyarakat yang ada saat ini sepenuhnya didasarkan atas eksploitasi yang dilakukan oleh sebuah minoritas kecil penduduk, yaitu kelas tuan tanah dan kaum kapitalis, terhadap masyarakat luas yang terdiri atas kelas pekerja. Ini adalah sebuah masyarakat perbudakan, karena para pekerja yang "bebas", yang sepanjang hidupnya bekerja untuk kaum kapitalis, hanya "diberi hak" sebatas sarana subsistensinya. Hal ini dilakukan kaum kapitalis guna keamanan dan keberlangsungan perbudakan kapitalis.

Tanpa dapat dielakkan, penindasan ekonomi terhadap para pekerja membangkitkan dan mendorong setiap bentuk penindasan politik dan penistaan terhadap masyarakat, menggelapkan dan mempersuram kehidupan spiritual dan moral massa. Para pekerja bisa mengamankan lebih banyak atau lebih sedikit kemerdekaan politik untuk memperjuangkan emansipasi ekonomi mereka, namun tak secuil pun kemerdekaan yang akan bisa membebaskan mereka dari kemiskinan, pengangguran, dan penindasan sampai kekuasaan dari kapital ditumbangkan. Agama merupakan salah satu bentuk penindasan spiritual yang dimanapun ia berada, teramat membebani masyarakat, teramat membebani dengan kebiasaan mengabdi kepada orang lain, dengan keinginan dan isolasi. Impotensi kelas tertindas melawan eksploitatornya membangkitkan keyakinan kepada Tuhan, jin-jin, keajaiban serta jang sedjenisnya, sebagaimana ia dengan tak dapat disangkal membangkitkan kepercayaan atas adanya kehidupan yang lebih baik setelah kematian. Mereka yang hidup dan bekerja keras dalam keinginan, seluruh hidup mereka diajari oleh agama untuk menjadi patuh dan sopan ketika di sini di atas bumi dan menikmati harapan akan ganjaran-ganjaran surgawi. Tapi bagi mereka yang mengabdikan dirinya pada orang lain diajarkan oleh agama untuk mempraktekkan karitas selama ada di dunia, sehingga menawarkan jalan yang mudah bagi mereka untuk membenarkan seluruh keberadaannya sebagai penghisap dan menjual diri mereka sendiri dengaan tiket murah untuk menuju surga. Agama merupakan candu bagi masyarakat. Agama merupakan suatu minuman keras spiritual, di mana budak-budak kapital menenggelamkan bayangan manusianya dan tuntutan mereka untuk hidup yang sedikit banyak berguna untuk manusia.

Tetapi seorang budak yang menjadi sadar akan perbudakannya dan bangkit untuk memperjuangkan emansipasinya ternyata sudah setengah berhenti sebagai budak. Para buruh modern yang berkesadaran-kelas, digunakan oleh industri pabrik skala besar dan diperjelas oleh kehidupan perkotaan yang merendahkan kedudukan di samping prasangka-prasangka religius, meninggalkan surga kepada parra pastur dan borjuis fanatik, dan mencoba meraih kehidupan yang lebih baik untuk dirinya sendiri di atas bumi ini. Proletariat sekarang ini berpihak pada sosialisme, yang mencatat pengetahuan dalam perang melawan kabut agama, dan membebaskan para pekerja dari keyakinan terhadap kehidupan sesudah mati dengan mempersatukan mereka bersama guna memperjuangkan masa sekarang untuk kehidupan yang lebih baik di atas bumi ini.

Agama harus dinyatakan sebagai urusan pribadi. Dalam kata-kata inilah kaum sosialis biasa menyatakan sikapnya terhadap agama. Tetapi makna dari kata-kata ini harus dijelaskan secara akurat untuk mencegah adanya kesalahpahaman apapun. Kita minta agar agama dipahami sebagai sebuah persoalan pribadi, sepanjang seperti yang diperhatikan oleh negara. Namun sama sekali bukan berarti kita bisa memikirkan agama sepanjang seperti yang diperhatikan oleh Partai. Sudah seharusnya agama tidak menjadi perhatian negara, dan masyarakat religius seharusnya tidak berhubungan dengan otoritas pemerintahan. Setiap orang sudah seharusnya bebas mutlak menentukan agama apa yang dianutnya, atau bahkan tanpa agama sekalipun, yaitu, menjadi seorang atheis, dimana bagi kaum sosialis, sebagai sebuah aturan. Diskriminasi diantara para warga sehubungan dengan keyakinan agamanya sama sekali tidak dapat ditolerir. Bahkan untuk sekedar penyebutan agama seseorang di dalam dokumen resmi tanpa ragu lagi mesti dibatasi. Tak ada subsidi yang harus diberikan untuk memapankan gereja, negara juga tidak diperbolehkan didirikan untuk masyarakat religius dan gerejawi. Hal-hal ini harus secara absolut menjadi perkumpulan bebas orang-orang yang berpikiran begitu, asosiasi yang independen dari negara. Hanya pemenuhan seutuhnya dari tuntutan ini yang dapat mengakhiri masa lalu yang memalukan dan keparat, saat gereja hidup dalam ketergantungan feodal pada negara, dan rakyat Rusia hidup dalam ketergantungan feodal pada gereja yang mapan, ketika di jaman pertengahan, hkum-hukum inquisisi (yang hingga hari ini masih mendekam dalam hukum-hukum pidana dan pada kitab undang-undang kita) ada dan diterapkan, menyiksa banyak orang untuk keyakinan maupun ketidakyakinannya, memperkosa hati nurani orang-orang, dan menggabungkan pemerintah yang enak dan pendapatan dari pemerintah, dengan dispensasi ini dan itu yang membiuskan, oleh lembaga gereja. Pemisahan yang tegas antara lembaga Negara dan Gereja adalah apa yang dituntut proletariat sosialis mengenai negara modern dan gereja modern.

Revolusi Rusia harus memberlakukan tuntutan ini sebagai sebuah komponen yang diperlukann untuk kemerdekaan politik. Dalam hal ini, revolusi Rusia berada dalam sebuah posisi yang menyenangkan, karena ofisialisme yang menjijikkan dari otokrasi feodal polisi berkuda telah menimbulkan ketidakpuasan, keresahan, dan kemarahann bahkan di antara para pendeta. Serendah-rendahnya dan sedungu-dungunya pendeta Orthodoks Rusia, mereka pun sekarang telah dibangunkan oleh guntur keruntuhan tatanan abad pertengahan yang kuno di Rusia. Bahkan mereka yang bergabung dalam tuntutan untuk kebebasan, memprotes praktek-praktek birokratik dan ofisialisme, hal memata-matai polisiyang sudah ditetapkan sebagai "pelayan Tuhan". Kita kaum sosialis harus memberikan dukungan kita pada gerakan ini, mendukung tuntutan para pendeta yang jujur dan tulus hati menuju ke tujuan mereka, membuat mereka meyakini kata-kata mereka tentang kebebasan, menuntut bahwa mereka harus memutuskan semua hubungan antara lembaga keagamaan dan kepolisian. Seperti juga bagi Anda yang tulus hati, di tiap kasus Anda harus mempertahankan pemisahan antara Gereja dengan Negara dan sekolah dengan Agama, sepanjang agama sudah dinyatakan secara tuntas dan menyeluruh sebagai urusan pribadi. Atau Anda tidak menerima tuntutan-tuntutan konsisten tentang kebebasan ini, dalam kasus dimana Anda tetap terpikat dengan tradisi inkuisisi, dalam kasus dimana Anda tetap berpegang teguh dengan kerja pemerintahan yang enak dan pendapatan dari pemerintah, dalam kasus dimana Anda tidak percaya terhadap kekuatan spiritual dari senjatamu dan melanjutkan untuk mengambil suap dari negara. Dan dalam kasus itulah para pekerja berkesadaran-kelas di seluruh Rusia menyatakan perang tanpa ampun terhadap Anda.

Sepanjang yang diperhatikan kaum sosialis proletariat, agama bukanlah sebuah persoalan pribadi. Partai kita adalah sebuah asosiasi dari para pejuang maju yang berkesadaran kelas, yang bertujuan untuk emansipasi kelas pekerja. Sebuah asosiasi seperti itu tidak dapat dan tidak seharusnya mengabaikan adanya kekurangan kesadaran- kelas, ketidaktahuan atau obscurantisme (isme kekaburan, ketidakjelasan) dalam bentuk keyakinan-keyakinan agama. Kita menuntut pembinasaan sepenuhnya terhadap Gereja dan dengannya mampu menerangi kabut religius yang begitu ideologis dan dengan sendirinya senjata ideologis, dengan sarana pers kita dan melalui kata dari mulut. Namun kita mendirikan asosiasi kita, Partai Buruh Sosial-Demokrat Rusia, tepatnya untuk sebuah perjuangan melawan setiap agama yang menina bobokan para pekerja. Dan bagi kita perjuangan ideologi bukan sebuah urusan pribadi, namun persoalan seluruh Partai, seluruh proletariat.
Jika memang demikian, mengapa kita tidak menyatakan dalam Program kita bahwa kita adalah atheis? Mengapa kita tidak melarang orang-orang Kristen dan para penganut agama Tuhan lainnya untuk bergabung dalam partai kita?

Jawaban terhadap pertanyaan ini akan memberikan penjelasan tentang perbedaan yang cukup penting dalah hal persoalan agama yang ditampilkan oleh para demokrat borjuis dan kaum Sosial-Demokrat.
Program kita keseluruhannya berdasar pada cara pandang yang ilmiah, dan lebih jauh materialistik. Oleh karenanya, sebuah penjelasan mengenai program kita secara amat perlu haruslah memasukkan sebuah penjelasan tentang akar-akar historis dan ekonomis yang sesungguhnya dari kabut agama. Propaganda kita perlu memasukkan propaganda tentang atheisme; publikasi literatur ilmiah yang sesuai – dimana pemerintah feodal otokratis hingga saat ini telah melarang dan menyiksa – yang pada saat ini harus membentuk satu bidang dari kerja partai kita. Kita sekarang mungkin harus mengikuti nasehat yang diberikan Engels kepada kaum Sosialis Jerman: menterjemahkan dan menyebarkan literatur intelektual Pencerahan Perancis abad ke-18 dan kaum atheis.

Namun bagaimanapun juga kita tidak boleh dan tidak patut untuk jatuh dalam kesalahan menempatkan persoalan agama ke dalam sebuah abstrak, kebiasaan jang idealistik, sebagai sebuah masalah "intelektual" yang tak berhubungan dengan perjuangan kelas, seperti yang tidak jarang dilakukan oleh kaum demokrat-radikal yang ada di antara kaum borjuis. Tentulah bodoh untuk berpikir bahwa, dalam sebuah masyarakat yang berdasar pada penindasan tanpa akhir dan merendahkan massa pekerja, prasangka-prasangka agama bisa disingkirkan hanya melalui metode propaganda melulu. Inilah kesempitan cara berpikir borjuis yang lupa bahwa beban agama yanng memberati kehidupann manusia sebenarnya tak lebih adalah sebuah produk dan refleksi beban ekonomi yang ada di dalam masyarakat. Tak satupun dari famplet khotbah, berabapun jumlahnya, dapat memberi pencerahan pada kaum proletariat, jika ia tidak dicerahkan dengan perjuangannya sendiri melawan kekuatan gelap dari kapitalisme. Persatuan dalam perjuangan revolusioner yang sesungguhnya dari kelas kaum tertindas untuk menciptakan sebuah sorgaloka di bumi, lebih penting bagi kita ketimbang kesatuan opini proletariat di taman firdaus surga.

Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kita tidak dan tidak akan menyatakan atheisme dalam program kita, itulah mengapa kita tidak akan dan tidak akan melarang kaum proletariat yang tetap memelihara sisa-sisa prasangka lama untuk menggabungkan diri mereka dengan Partai kita. Kita akan selalu mengkhotbahkan cara pandang ilmiah, dan hal itu essensial bagi kita untuk memerangi ketidakkonsistenan dari berbagai aliran "Nasrani". Namun bukan berarti bahwa pada akhirnya persoalan agama akan dikembangkan menjadi persoalan utama, sementara hal itu sudah tidak dipersoalkan lagi, atau bukan pula berarti bahwa kita akan membiarkan semua kekuatan dari perjuangan ekonomi dan politik revolusioner yang sesungguhnya untuk dipilah-pilah mengikuti opini tingkat ketiga ataupun ide-ide yang tidak masuk akal. Karena hal ini akan segera kehilangan semua arti penting politisnya, segera akan disapubersih sebagai sampah oleh perkembangan ekonomi.
Dimanapun kaum borjuis reaksioner hanya memperhatikan dirinya sendiri, dan sekarang sudah mulai memperhatikan dirinya di Rusia, dengan menggerakkan perselisihan agama – karenanya dalam rangka membelokkan perhatian massa dari problem-problem ekonomi dan politik yang demikian penting dan fundamental, pada saat ini diselesaikan dalam praktek oleh semua proletariat Rusia yang bersatu dalam perjuangan revolusioner. Kebijaksanaan revolusioner yang memecahbelahkan kekuatan kaum proletariat, dimana pada saat ini manifestasinya muncul dalam program Black-Hundred, mungkin besok akan menyusun bentuk-bentuk yang lebih subtil. Kita, pada setiap tingkat, akan melawannya dengan tenang, secara konsisten dan sabar berkhotbah tentang solidaritas proletarian dan cara pandang ilmiah – seorang pengkhotbah yang asing pada apapun hasutan-hasutan perbedaan sekunder.

Kaum proletariat reevolusioner akan berhasil dalam membentuk agama menjadi benar-benar urusan pribadi, sejauh yang diperhatikan oleh negara. Dan dalam sistem politik ini, bersih dari lumut-lumut abad pertengahan, kaum proletariat akan keluar dan membuka pertarungan untuk mengeliminasi perbudakan ekonomi, sumber yang murni dari segala omong kosong relijius manusia.

Novaya Zhizn, No. 28.
3 Desember, 1905
Tertanda: N. Lenin
Diterbitkan sesuai dengan teks yang dalam Novaya Zhizn

Sumber: Karya-karya Lenin
Catatan: Lihat Frederick Engels, "Flüchtlings-Literatur", Volksstaat, No. 73, 22/6/1874, halaman 86.

Mahendra : Lawan “Ketakutan” Akan “ketakutan” Terhadap Kelompok Reaksioner


Foto Ignatius Mahendra Saat Aksi Melawan Imprealisme di ASIA
Dalam setiap perkembangan perjuangan, tidak dapat dihindari terdapat sekelompok orang yang masih tertahan kesadarannya dalam kebiasaan-kebiasaan lama. Termasuk dalam perkembangan perjuangan melawan kelompok reaksioner. Ketika kawan2 berhasil menyelenggarakan pemutaran film Senyap di UIN masih terdapat segelintir orang yang mencibirnya. Demikian juga ketika kawan-kawan melancarkan aksi pertama yang menandingi aksi dari kelompok reaksioner. Didalamnya kita harus membedakan setidaknya dua kelompok yang tertahan dalam kebiasaan lama enggan melawan kelompok-kelompok reaksioner. Pertama adalah mereka yang sudah bertahun-tahun hidup dalam ketakutan. Ketakutan terhadap kelompok-kelompok reaksioner. Serta keputusasaannya dalam berhadapan dengan serangan kelompok-kelompok reaksioner. 
 
Kita tidak akan berkubang pada ketakutannya. Apa lagi yang mau dibicarakan tentang kelompok-kelompok reaksioner itu? Kekejaman dan kebiadabannya sudah kita ketahui dan rasakan. Hubungannya dengan aparat negara dan elit-elit politik sudah terang benderang didepan kita. 

Kita tidak akan berkutat pada keputusasaannya. Tidak pernah benar-benar ada rumah aman bagi individu untuk menyembunyikan diri ditengah serangan besar-besaran dari para elit politik dan kelompok reaksioner. Lagipula melawan atau tidak melawan, sudah bertahun-tahun kita diinjak-injak, dipentungi, dsb. Setidaknya kalau melawan, ada kemungkinan kita menang. Kalau tidak melawan, sama sekali tidak berarti serangan itu akan berhenti. Bukankah semakin kesini eskalasi serangan tersebut semakin meningkat? Saya mendengar seorang kawan mengatakan: pengalaman aksi kemarin sungguh-sungguh membebaskan, membebaskan saya yang sudah bertahun-tahun diborgol karena identitas saya.
 
Kita justru harus terus menerus menjelaskan perjuangan-perjuangan yang menginspirasi dan hasil-hasilnya. Bagaimana rakyat tertindas mampu bersatu dan melawan serangan kelompok-kelompok reaksioner tersebut. Harus terus melatih keberanian, melatih strategi, bersatu dengan rakyat tertindas lainnya, melatih perlawanan yang lebih kuat dan solid lagi. 

Kedua adalah para intelektual dan para pimpinan. Mereka lebih suka berbicara tentang toleransi, keberagaman, demokrasi. Tapi bukan memperjuangkannya. Mereka lebih suka berbicara, menganalisa dan meneliti tentang kelompok reaksioner. Tapi bukan melawannya. Mereka lebih suka berbicara dialog, proses, pencarian strategi untuk berhadapan dengan kelompok reaksioner. Walau bertahun-tahun terbukti tidak menyelesaikan persoalan, bahkan strategi mereka mengecilkan kekuatan kelompok reaksioner pun tidak. 

Mereka suka berbicara tentang anti kekerasan. Tapi ditengah serangan kelompok reaksioner, slogan “anti kekerasan” mereka adalah kosong. Mereka tidak punya kemampuan ataupun keberanian untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok intoleran. Dalam banyak hal mereka justru melemahkan perjuangan rakyat yang siap berhadap-hadapan dan menghentikan kekerasan kelompok reaksioner. Sepertinya semua itu bukan karena mereka hidup bertahun-tahun dalam ketakutan. Mereka sudah belajar banyak hal namun secara sadar menolak mengambil kesimpulan-kesimpulan maju dari semua yang mereka pelajari. Sepertinya ini karena mereka takut kehilangan hak istimewanya. Hak istimewa sebagai yang paling “pantas” untuk berbicara mengenai toleransi dan intoleransi, demokrasi dan transisi demokrasi, keberagaman, kebebasan serta hak-hak warga negara. Sepertinya mereka takut kehilangan hak istimewanya untuk “berjuang” didalam hotel-hotel dan ruang-ruang seminar ber-AC. Untuk menyimpulkan semua teori yang dipelajari dalam praktek. Takut untuk harus ketarik ke tengah jalan berhadap-hadapan dengan kelompok reaksioner. Berhadapan dengan mereka mudah saja: perdebatan terbuka harus dilancarkan. Agar semua orang bisa belajar mana langkah dan perspektif yang maju. Mana yang bisa benar-benar memperjuangkan demokrasi dan mana yang sekedar menggantungkan nasibnya.

Ket : Tulisan ini merupakan postingan di media sosial (Facebook) kawan Ignatius Mahendra Kusumawardhana

Download Buletin

Populer Post

 
Hak Cipta : Komite Pusat - Gerakan Perjuangan Mahasiswa Demokratik SGMK Kota Parepare | ' | AR. Ame' FB
Copyright © 2013. Gerakan Perjuangan Mahasiswa Demokratik Parepare - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by RED LEFT